Friday 2 August 2013

Saat kita menjadi pengemis musiman.

Hey hey.. Hallo!

Gue baru aja keluar dari kamar mandi, habis ngeguyur kepala gue dengan air dingin. Dan selagi gue bertapa di dalem kamar mandi tadi, gue akhirnya mutusin buat nulis sesuatu yang udah sejak hari Minggu kemaren ada di kepala gue.

"Gue sedang berbicara dengan pengemis."

How's that as an opening?

Yep, gue yakin banget kalo tulisan gue ini sekarang lagi dibaca oleh seorang pengemis.
Yep, elo.
Maksud gue, elo pengemisnya.

Waktu gue ulang tahun yang ke 25 bulan Februari lalu, gue ngelakuin sesuatu yang dari dulu pengen gue lakuin. Buat ngerayain hidup gue yang ternyata nyampe seperempat abad, gue mutusin buat pergi bareng adek gue makan sama orang lain yang hidupnya mungkin ga seberuntung gue. Gue muter-muter Bandung, dan akhirnya mutusin buat makan nasi goreng bareng pemulung yang gue temuin di pinggir jalan. Di bawah sana adalah foto adek gue lagi duduk dan makan bareng pemulung itu.

Gue ngobrol-ngobrol sama si bapak pemulung dan anaknya. Gue tanya-tanya, sejak kapan dia mulung, dia tinggal dimana, anaknya berapa, dan termasuk apakah dia punya istri atau nggak. Dan dari obrolan singkat gue selama kurang lebih setengah jam itu, gue mulai ngerti gimana kerasnya hidup orang jalanan. Kira-kira jam 9, akhirnya gue pamitan sama si bapak karena kos-kosan tempat gue tinggal cukup jauh. Gue ga mau nyampe kamar lewat tengah malem, takut muka gue berubah di jalan. Dan sebelum gue pisah sama mereka, gue selipin beberapa lembar uang tambahan di bungkusan nasi goreng buat mereka makan besok pagi.

Gue jadi ngerti.

Layaknya si bapak pemulung itu, banyak orang yang akhirnya mutusin buat hidup di pinggir jalan, mutusin buat jadi pemulung, pengemis, pengamen, atau apapun itu karena mereka kesulitan buat dapet kerjaan yang layak. They've tried here and there to get a job so that they can work properly and finance their life with stable income. Dan kegagalan-kegagalanlah yang bikin mereka putus asa dan ambil jalan singkat.

Tapi ternyata jumlah mereka yang berusaha itu masih ga sebanding dengan jumlah orang jalanan yang memang dari awalnya ga mau usaha sama sekali. Mereka yang males ternyata jauh lebih banyak. Mereka yang bener-bener dari awal nggak mau berusaha, mereka yang dari awal sudah berencana pengen jadi pengemis. Orang-orang seperti mereka yang sudah menjadikan pengemis sebagai karir mereka. Dan ga jarang beberapa dari mereka malah bangga dengan profesi mereka itu.

Di Indonesia, setiap kali bulan ramadhan, ada fenomena yang amat sangat menarik. Tiap kali bulan penuh hikmat itu datang, maka jumlah pengemis yang berkeliaran pun bertambah bisa sampai 100% dari jumlah biasanya. Banyak orang yang tiba-tiba beralih profesi menjadi pengemis part time. Hanya satu bulan dalam satu tahun. Gue pernah iseng ngitung, kalau sehari aja mereka bisa keliling 500 rumah dalam satu komplek, dari 500 rumah itu hanya 10% yang ngasih duit, dan setiap rumah yang ngasih duit ngasih minimal Rp 5,000, maka dalam satu bulan itu, mereka bisa dapet minimal Rp 7,500,000. Itu minimal. Dan di bulan suci ini, gue yakin lebih banyak rumah yang jadi lebih terbuka buat ngasih duit ke pengemis, dan tentunya dengan jumlah yang lebih besar.

Untuk pengemis yang di jembatan penyeberangan? Ini itungannya.
Dalam sehari, di Jakarta, rata-rata jembatan penyeberangan dilewati oleh 20,000 manusia. Anggep cuma 5% dari antaranya yang ngasih duit ke para pengemis itu, dan anggep tiap yang ngasih cuma ngasih duit Rp 1,000. Selama satu bulan, sadar ga sadar mereka bisa dapet minimal Rp 30,000,000. Dan lagi-lagi, selama bulan puasa ini, dimana banyak orang yang berlomba-lomba bersedekah dan beramal, bukan ga mungkin para pengemis itu bisa dapet dua kali lipat.

Wokeh, itungan gue terlalu kasar emang. Banyak faktor lain yang ga gue masukin. Uang retribusi, uang mafia, uang transport, uang makan, dll. You can do all the research on those things. Belum lagi pendapatan itu belum tentu sama setiap bulannya.

But here's my point.

Most of us, sadar ga sadar, bertindak yang sama persis dengan para pengemis itu. We know that there are nice people everywhere, we know that we can just beg for money from those people, and that's it, we're safe. We don't need to think, we don't need to have meetings and get stressed due to deadlines, and we can eat good food everyday.

What's even worse, ga sedikit dari pengemis-pengemis itu adalah orang-orang yang dengan sengaja mempertahankan kecacatannya yang bisa membuat orang lain semakin iba dan akhirnya memberikan uang yang lebih banyak ke mereka. Banyak mereka yang buta dengan sengaja menolak saat ada tawaran untuk mendapatkan kesembuhan gratis. Bahkan, banyak dari mereka yang sengaja membuat cacat dirinya sendiri dengan alasan yang sama. Mereka takut kalau mereka sehat, maka pendapatan mereka akan berkurang. Mereka tau kalau orang sehat tidak berhak untuk mengemis.
Ga usah tanya gue dari mana gue dapet fakta ini, lo bisa turun sendiri ke lapangan, dan investigasi kebenarannya.

Okeh, gue ulang sekali lagi, banyak banget dari kita yang bermental pengemis. Termasuk lo yang lagi ngebaca ini. Gue ga tau kapan dan berapa kali, gue yakin lo sering banget berubah jadi pengemis musiman. Ga cuma lo, gue juga kok.

Dalam perjalanan iman kita, buat kita yang beriman, ada musim-musim tertentu kita diperhadapkan dengan sebuah pilihan. Ada musim-musim tertentu dimana permasalahan datang dan mengharuskan kita untuk berlutut dan menjadi pengemis di hadapan Sang Khalik. Ada musim-musim tertentu dimana kita memang harus mengemis. Harus.

Hanya saja, setiap kali musim itu datang, pilihan tetap ada di tangan kita. Kita bisa memilih untuk hanya mengemis berkat, atau kita bisa memilih untuk mengemis kekuatan, mengemis kesempatan, atau mengemis jalan keluar. Nah, pilihan-pilihan inilah yang bisa membedakan kita. Apakah kita memang bermental pengemis malas yang memang ga mau berusaha, atau kita pengemis yang sebenarnya tidak mau menjadi pengemis?

Si bapak pemulung yang gue ceritain di depan tadi adalah salah satu contoh yang gue salut. Waktu gue tanya, "Kenapa mulung, pak?", dengan senyumnya dia ngejawab, "Daripada ngemis, dek. Seenggaknya saya masih ada usaha, saya masih bisa dibilang bekerja. Walaupun pekerjaannya ga seperti pekerjaan adek."
Gue pikir, sebenernya jauh di dalem hatinya, dia masih berharap buat bisa dapet pekerjaan yang layak.

Friends, seringkali circumstances memaksa kita untuk menjadi pengemis musiman. Krisis dan masalah dateng kapan aja, dan saat itu kita otomatis jadi pengemis di hadapan Beliau.
But let me tell you this. Make sure you beg for the right thing.

Don't just ask for the money, ask for a job instead. Don't just ask for the blessings, ask for strength, wisdom and way to work it out.

In Him. =)

No comments: